Pages

Selasa, 30 November 2010

Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir pantun Sunda jawa barat

oleh: Asep Suryana


Jacob Sumardjo seorang Jawa menafsirkan pantun Sunda? Sebenarnya tidak harus menjadi aneh, karena ada juga peneliti berkebangsaan Belanda, Jepang, atau Amerika yang meneliti kebudayaan Sunda. Dengan demikian kita akan mengetahui bagaimana orang luar memandang kebudayaan Sunda tanpa pretensi apa-apa. Beliau telah lebih dari 40 tahun hidup di tatar Sunda, latar belakangnya sebagai seorang Jawa dan khazanah keilmuannya terutama kebudayaan sangat berguna ketika menerangkan gejala budaya Sunda ketika berada pada tataran yang sama dengan kebudayaan lain.
Penulis buku menggunakan pendekatan hermeneutik dalam mengkaji pantun. Sementara melepaskan diri dari nilai-nilai kini dan memasuki dunia pantun dengan tata nilai masyarakat yang menghasilkannya. Penulis mengaku belum pernah menonton pertunjukan pantun. Beliau hanya membaca cerita pantun dan transkripsi pantun terutama yang telah dikerjakan oleh Ajip Rosidi (1970). Diakuinya vokal juru pantun dan petikan kecapi pengiringnya akan membantu memperoleh makna pantun. Meskipun telaah hanya pada struktur pantun tetapi tidak mengurangi bobot buku ini. Dengan rendah hati Jacob menyebutkan bukunya lebih merupakan esai dari pada kajian ilmiah.
Pantun merupakan seni pertunjukan teater tutur. Teater tutur di Indonesia tersebar seperti kentrung di Jawa Timur, jemblung di Banyumas, warahan di Lampung, dingdong di Gayo, sinrili di Sulawase Selatan, bakaba di Minangkabau dan lain-lain. Pantun dipertunjukan oleh seorang pencerita dan diiringi oleh instrumen musik tradisional suku.
Di Jawa Barat dan Banten juru pantun melantunkan sebuah kisah dengan diiringi instrumen musik kecapi. Umumnya pertunjukan pantun pada malam hari “di luar waktu” manusia (kegiatan manusia sehari-hari), yaitu “waktu suci”. Pertunjukan pantun terutama ditujukan untuk ruatan (upacara keselamatan). Hingga tahun 1950-an pantun masih sering dipertunjukan. Tetapi menjelang tahun 1970-an sudah jarang dipentaskan, sehingga banyak budayawan yang berusaha merekam dan mentranskripsi pantun-pantun. Juru pantun sudah sangat langka, karena generasi berikutnya sudah tidak tertarik.
Menurut arkeolog alm. Ayat Rohaedi, dalam naskah Sanghyang Siksa: Kanda ng Karesyan (1518) terdapat empat buah cerita pantun yaitu Siliwangi, Haturwangi, Banyakcitra, dan Langga-larang. Jadi sekitar tahun 1400 pantun ini sudah dikenal masyarakat Sunda. Dalam perjalanannya pantun mendapat pengaruh Hindu-Budha, dan Islam. Dalam rajah (doa atau mantra) misalnya terdapat alamat-alamat dunia atas seperti dewata dan pohaci (pantun Lutung Kasarung), batara-batari, dewa, dan Batara Guru (naskah Mundinglaya), nama-nama Allah, Nabi Muhammad, Rasul (naskah Sulanjana-Sri Sadana). Pengucapan ahung (aslinya aum) bisa sampai 40 kali, kadang diganti dengan astagfirullah aladzim empat kali. Ini menunjukan bagaimana pengaruh-pengaruh agama dalam seni pantun.
Buku ini meskipun sebagian isinya adalah esai-esai yang pernah dipublikasikan di media cetak, namun diramu kembali cukup apik. Tentunya tidak dapat dihindarkan adanya pengulangan. Buku ini dimulai dengan tulisan mengenai Pertunjukan Pantun dan Latar Belakang Sejarah Budaya Pantun. Layaknya sebuah kajian ilmiah Bab Empat disajikan Pandangan Dasar. Bab Lima menyajikan Tafsir Kosmologi Pantun yang ditarik dari beberapa pantun seperti Mundinglaya Di Kusumah, Ciung wanara, Nyai Sumur Bandung, Panggung Karaton, Lutung leutik, Kuda Wangi, Kidang Panandri, Gajah Lumantung, Lutung Kasarung, dan Sri Sadana.
Bab Enam berupa Tafsir Budaya Pantun. Penulis menarik maksud-maksud dari siloka pantun dengan piawai, apalagi beliau adalah dosen mata kuliah kebudayaan. Saya sering pula menemukan tulisan beliau mengenai sastra dan teater. Apa saja yang dijelaskan? Antara lain Sang Hyang Tunggal, Guriang Tunggal, Sunan Ambu, Pohaci, Lengser, Asas Tritangtu, Asas Dalam-Luar Budaya Sunda, Arketip kepemimpinan Sunda, kosmologi rumah Sunda, keraton Sunda dalam pantun, perempuan dalam masyarakat Sunda lama, dan kuburan kosong di Pasundan.
Jika Anda sama seperti saya yang orang Sunda, tetapi tidak tahu apa arti dan bagaimana menjadi orang Sunda namun ingin tahu kesundaan pasti akan tertarik dengan bab-bab di atas. Bagaimana kalau Anda meneruskan bacaannya ke Bab Tujuh? Judul bab ini adalah Membaca Budaya Primordial Sunda. Bab ini dibagi ke dalam bahasan mengenai topografi Sunda, habitat dan budaya, pola kampung dan rumah, religiositas Sunda, Sunda dan Islam, humor Sunda, akar budaya, dan alam pikiran mistis-spiritual.
Dalam pantun ditemukan pola tetap yang merupakan asas primordial Sunda yaitu tritangtu. Segala sesuatu terdiri dari dua kutub yang berlawanan dan berpotensi konflik, tetapi juga komplementer, saling melengkapi dan saling membutuhkan. Yang ketiga merupakan hasil perkawinan kedua kutub. Contoh “lelaki” dan “perempuan” perkawinannya menghasilkan “anak”. Perkawinan Dunia Atas (Buana Nyungcung) dan Dunia Bawah (Buana Larang) menghasilkan Dunia Tengah (Buana Panca Tengah). Asas yang sama juga ditemukan dalam masyarakat Batak dalihan na tolu, dan di Minang tigo sajarangan.
Artefak berupa peninggalan arkeologi secara fisik di Jawa bagian barat sangat minim sekali. Maka pantun Sunda dapat menjadi artefak budaya Sunda. Melalui dekonstruksi pantun kita berusaha menggali dan memahami akar budaya. Nilai-nilai mana yang harus ditinggalkan dan nilai-nilai mana yang patut dipertahankan kemudian ditransformasikan. Masyarakat di Nusantara mempunyai akar budaya yang berbeda di wilayahnya masing-masing dan semua ini harus bersatu. Dan persatuan itu adalah perkawinan nilai-nilai. Sama saja seperti pada Kebudayaan Barat apabila sudah berbicara falsafah hidup mereka akan meghadirkan kembali pemikiran-pemikiran Aristoteles, Socrates, Plato, dll yang hidup Sebelum Masehi. “Kita tidak dapat membangun masa depan tanpa mempertimbangkan akar. Karena akar itulah kekuatan kita. Hidup tanpa akar akan tumbang”. Demikian Jacob Sumardjo menutup bukunya.
Bagi saya buku ini adalah menggali kembali akar budaya Sunda melalui struktur pantun dan memberitahukan kepada generasi saya nilai-nilai apa yang terkandung di dalamnya. Agar transformasi nilai-nilai terjadi harus diupayakan penerbitan buku-buku semacam ini. Naskah-naskah yang tersimpan dalam lontar, janganlah hanya menjadi obyek kajian ilmiah semata bagi peneliti dan menyimpannya dalam rak-rak penelitian tanpa seluas-luasnya ditransformasikan kepada masyarakat pemilik kebudayaan. Sayang buku setebal ini tidak dilengkapi indeks.
sebelum tahun 1518, sebagaimana ditunjukkan oleh naskah lama, Siksa Kandang Karesian. Boleh jadi masyarakat Sunda sudah mengenalnya sekitar tahun 1400-an, pada saat berkembangnya budaya Hindu-Buddha di Jawa Barat, sehingga cara berpikir agama-agama tersebut telah masuk ke dalam pantun. Cara berpikir tersebut kemudian berkembang dan menyesuaikan diri dengan masuknya Islam di Tatar Sunda. Selain itu, pantun juga mengandung unsur-unsur budaya lokal. Di kalangan masyarakat Sunda, seni pantun merupakan jenis pertunjukan teater tutur yang memperlihatkan kemampuan bercerita dari “sang juru pantun” dengan diiringi kacapi pantun. Pagelarannya diselenggarakan sejak pukul 20.00 sampai menjelang subuh sekitar pukul 04.30. Ceritanya pada umumnya berkisar tentang lakon makhluk-makhluk suci atau keramat atau mempunyai hubungan dengan Raja dan putra-putra Raja Kerajaan Pajajaran. Beberapa cerita pantun, seperti Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglaya, dan Nyi Sumur Bandung, dianggap sebagai keramat.
Untuk memainkannya, banyak persyaratan yang harus dipenuhi, baik pada saat akan dimulai maupun menjelang akhir pagelaran dengan menyampaikan rajah. Rajah artinya sama dengan jampi-jampi atau permohonan pagelaran berlangsung lancar, baik pada saat diselenggarakan maupun sesudahnya.
Guru Besar STSI Bandung itu mengemukakan, gejala pantun sudah ada
LAHIR di Jombor-Danguran, Klaten, 26 Agustus 1939, bagi ayah tiga anak dari perkawinannya dengan Jovita Siti Rochma pada tahun 1969 itu, dunia pantun merupakan dunia “baru”. Setelah belajar di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, dan kemudian melanjutkan ke IKIP Bandung, ia mengajar di SMA St Angela, Bandung, sebagai guru sejarah dan menggambar. Di tempat ini ia bertemu calon istrinya.
Ia juga mengajar di STSI, selain di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Pasundan (Unpas) untuk mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, dan Sosiologi Seni. Tetapi segudang kegiatannya itu tidak mengurangi minat yang sudah lama digeluti sebagai pengarang cerita pendek, kritikus sastra dan penulis esai di berbagai media, baik di Bandung maupun Jakarta. Dari tangannya sudah lahir lebih dari 20 buku.
Sejak “tergila-gila” dengan pantun Sunda, ia berusaha memburu transkrip naskah-naskah pantun Sunda. Ia sudah menghasilkan dua buku kumpulan tulisannya: Hermeneutika Sunda, Simbol-simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan dan Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda, Tafsir-tafsir Pantun Sunda.
Kedua kumpulan karya-karyanya itu menempatkannya sebagai “orang Sunda” yang lebih nyunda karena kemampuannya menafsirkan karya-karya sastra masyarakat Sunda. Namun, kelebihan ini tidak mengubah dirinya sebagai budayawan yang rendah hati dan hidup sederhana.
PERKENALAN Jakob Sumardjo dengan pantun Sunda sebenarnya belumlah lama. Itu berawal ketika diminta Saini KM untuk mengulas karyanya berupa naskah drama Pangeran Sunten Jaya yang akan dipentaskan Kelompok Actors Unlimited di Bandung pada 31 Agustus 2000 di teater terbuka Selasar Sunarjo. Ia bersedia mengulasnya kalau bisa membaca cerita pantunnya yang asli, yang ternyata karya Saini KM sendiri, Mundinglaya di Kusumah.
Perkenalan pertama itu menumbuhkan rasa penasarannya terhadap naskah-naskah pantun lainnya. Ia menyadari, untuk memahami naskah-naskah itu dibutuhkan ilmu tentang kebudayaan dan sejarah Sunda, pemahaman religi asli Sunda, religi Hindu Buddha-Tantra, dan antropologi budaya suku-suku Indonesia.
Hanya karena ketekunannya, satu per satu naskah-naskah pantun tersebut bisa ditafsirkan. Namun, karena cukup banyaknya naskah-naskah tersebut, ia mengakui baru sebagian kecil yang sudah berhasil diteliti.
Dari naskah-naskah yang sudah diteliti, ia menyimpulkan, cerita pantun bukan hanya merupakan karya sastra lisan yang luhur dari masyarakat Sunda. Naskah-naskah tersebut mengandung bagian-bagian yang menyangkut peristiwa sejarah Sunda, maka pantun memiliki nilai sejarah. Karena itu, cerita pantun dianggapnya sebagai artefak budaya masyarakat Sunda sekaligus bentuk kebudayaan Sunda yang paling besar.

“Jika di Jawa terkenal dengan wayang kulit, maka di Sunda sebenarnya seni pantun. Bukan wayang golek“, ujar pengamat film yang tergabung dalam Forum Film Bandung (FFB) itu.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis